Diantara 412 kilometer, tak adakah gedung-gedung tinggi yang menjulang? Atau gunung-gunung yang punya hutan paling sepi. Tak adakah diantara 412 kilometer itu penghalang dan peredam angan-angan? Sore, menjelang maghrib di Semarang. Mataku perlahan terbuka, badanku kepanasan. Kota ini masih terasa panas, meski sudah 3 tahun aku menumpang hidup. Bagaimana di situ? Dengan gemerlap angan-angan dan harapan untuk punya hidup yang lebih baik? Kota yang aneh, tidak pernah mengatakan apa-apa tetapi bisa membuat banyak orang berharap banyak. Bagaimana di situ? Ku dengar kau sudah tidak lagi takut dengan gelap, dengan jam dengan angka puluhan dan roda-roda besar yang bisa saja meninggalkanmu jika telat beberapa menit saja. Kau hebat, bisa bertahan di dunia seperti itu. Aku pernah loh, ingin ke sana, ingin mencicipi juga bagaimana perasaan punya angan-angan di kota penghasil angan-angan terbaik. Sayangnya di dua kali kesempatan yang ku punya, aku tak punya nyali. Gagal sudah mencoba hidu...
Pernah tidak terfikir dalam benakmu, kita adalah negara hukum, tapi kita tidak mendapatkan dasar ilmu hukum itu sendiri, kecuali memang jika kita memutuskan berkuliah di ilmu hukum. Tapi apa kabar dengan 250 juta warga negara kita yang lain ? mungkin itulah salah satu alasan kenapa praktik hukum di Indonesia masih banyak terjadi kecurangan, suap, tajam ke bawah tumpul ke atas dll. Banyak tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara di ganjar dengan hukuman kurang dari 10 tahun, beberapa kali tokoh penting atau bahkan sanak keluarga dari tokoh penting terkena kasus kecelakaan, narkoba dll juga mendapat hukuman yang ringan, bahkan mungkin tidak jauh berbeda dengan seorang nenek yang mencuri 3 buah kopi yang sudah jatuh, tidak jauh berbeda dengan hukuman seseorang yang mencuri sepasang sendal. Sungguh ironi yang terus tumbuh subur. Bahkan wisatawan luar negeripun sampai berani melakukan pelanggaran di indonesia, ada seorang bule naik motor ugal - ugalan di Bali, bahkan yang terb...
Apakabar ? Haruskah aku menyapamu dengan seperti itu ? Seperti sepasang yang sudah lama sekali tak bertemu. Bukankah seminggu sekali kita slalu bertemu ? Sebenarnya tidak juga, mungkin lebih tepatnya setiap hari kita bertemu atau lebih detailnya aku yang menemuimu. Saat itu kau riang sekaligus tenang, menyenangkan sekaligus menghanyutkan dan tanpa sengaja aku menikmatinya. Aku senang melihatmu yang gemar tertawa, aku senang melihatmu yang mencoba mengikat rambutmu, padahal rambutmu hanya sebahu kan ? dan saatmu mengikat, pasti karet gelangnya kau gigit. Aku senang mendengar berbagai kisah yang telah kau lalui, menjadi teman dalam bicaramu. Aku pikir kita telah lolos menjadi sepasang yang berbahagia. Hingga aku kemudian menyadari, tak pernah sekalipun ada kata “ kita ” . Hanya ada kau yang sedang menunggunya, dan aku menjadi pendengar ceritamu. Ternyata “kita” hanya terjadi di angan - anganku saja. Dan mungkin benar, dari berbagai bahaya yang ada di dunia ini, me...
Komentar
Posting Komentar