Etika yang Luntur atau Dosen yang Baperan ?



Zaman telah berubah, teknologi semakin pesat berkembang, gaya berkomunikasipun kini berubah. Tak melulu dengan bertatap muka, kini mahasiswa bisa menghubungi dosen dengan handphone.
                        
        ( foto : www.cerpen.co.id)

Setelah melalui perkuliahan sekitar 3 semester ini, mulailah kita dihadapkan dengan berpuluh tugas yang menanti untuk diselesaikan. Belakangan ini teman - teman seangkatan saya mulai merasakan ribet ketika akan menemui dosen, entah itu untuk konsultasi paper, menumpuk tugas dll. Keberadaan dosen yang seringkali tidak bisa ditebak memaksa kita untuk berkirim pesan melalui SMS, Whatshap, atau Line. Kadang ada dosen yang dengan menyenangkanya membalas pesan yang kita kirim, lalu pertemuan untuk konsultasi bisa dilaksanakan, tapi tak jarang juga yang justru hanya dibaca tanpa balasan, esoknya dosen tersebut ngomel - ngomel “Kalian itu udah mahasiswa, tau tata krama ga? Kirim pesan ke dosen itu ada aturanya!” gertaknya. Kirim SMS saja mesti ada aturan ? Bu, ibu sebenarnya dosen atau anggota legistafif neh klo leh taw? Meskipun sebenarnya aturan tersebut tak tersampaikan di awal perkuliahan. Tapi ya seperti itulah, kadang - kadang mahasiswa biasa di kambing hitamkan, tanpa memiliki hak untuk berdiskusi, ini enaknya gimana yaw.
Zaman telah berubah, kita tak perlu berkirim surat secara resmi lagi untuk sekedar konsultasi tugas dengan dosen. Hal ini juga sepertinya diamini oleh dosen dengan menyebarkan nomor handphone di awal perkenalan perkuliahan. Dengan menyebarkan nomor handphone tentu dosen dan mahasiswa sadar bahwa mengirim pesan SMS kaidahnya adalah pesan singkat yang sangat jauh berbeda dengan jenis tulisan resmi yang harus memakai bahasa baku dll. Jadi sebenernya dosen gak usah baper dengan jenis tulisan kami, karena memang seperti itulah gaya bahasa pesan SMS. Kalau memang merasa terganggu dengan gaya tulisan kami di pesan SMS, lebih baik gunakan alat lain untuk berkomunikasi, coba saja di awal perkuliahan hanya menyebarkan alamat email untuk berkomunikasi. Maka dengan sendirinya kami akan menulis sesuai kaidah email yang bahasanya baku, padat dan tidak slengean.
Ibu dan Bapak dosen yang kami cintai, daripada membuat aturan yang hanya menurut Bapak dan Ibu baik, lebih baik bukalah ruang diskusi dengan kami, maunya gimana, enaknya gimana? Jadi tidak terjadi kesalahpahaman apalagi keribetan. Bukan kami tak tau sopan santun, buktinya kami masih bisa menulis surat izin sakit secara formal, dan bisa menulis caption Instagram dengan slengean.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menemui Mimpimu di Jakarta

Angan-angan di Kota yang Jauh