Postingan

Kaligua

  Empat tahun lalu, sentuhan jarimu masih nyata. Kamu mengusap pipi dan menegakkan kepalaku yang mulai menunduk. Sorot matamu masih bisa kulihat dari jarak kurang dari satu meter. Kita baru selesai jalam-jalan ke Kaligua waktu itu. Bagian mana yang paling kamu ingat dari momen itu? Enggak perlu mikir keras, kalau lupa, biar aku simpan sendiri. Sejak kamu di Jakarta, lalu pulang di momen mudik, Kaligua selalu tak lepas dari obrolan. Kamu ingin ke sana, ke kebun teh, ke suasana dingin, ke perjalanan yang menanjak dan berliku. Di satu hari itu, aku bisa mengajakmu ke sana. Kamu sempat agak kedinginan, lalu memakai jaket biruku. Kita juga sempat memakan semangkuk bakso. Yang tentu saja rasanya biasa aja. Lalu kita menertawainya, karena kita menghabiskan semangkuk itu biar badan anget aja. Kita menaiki bukit, lebih tepat kebun teh yang menanjak, lalu berfoto. Dibanding melihat kebun teh, rasanya aku lebih banyak memandangmu. Tapi mungkin kamu lupa, tak apa. Kita juga makan ja

Waktu Terlalu Cepat Berlalu

Dulu, aku pikir orang yang mengatakan waktu terlalu cepat berlalu hanya kiasan. Dia mungkin hanya sedang meromantisasi keadaan. Namun, ternyata memang ada banyak hal yang berubah dan aku seolah tak punya kekuatan apa-apa untuk menolak atau sekadar memperlambat. Dulu, di perpustakaan daerah, rasanya aku masih melihatmu menggebu-gebu. Aku rasa kamu sedang ingin-inginnya belajar biar lolos tes masuk STAN. Namun, tak tidak ada yang tahu. Mungkin kamu kehilangan fokus karena sesuatu, mungkin memang belum rezeki. Tapi, mimpi untuk tetap kuliah rasanya belum padam. Kamu bekerja di Jakarta, mengumpulkan satu demi satu, dan kini telah memetiknya satu demi satu. Aku pikir dunia sekarang sedang berbunga-bunga. Ya, setidaknya duniamu. Salah satu impianmu sudah terwujud. Aku liat kamu membagikan momen lulus kuliah. Selamat ya. Mungkin, sebentar lagi mimpi mimpimu yang lain juga segera dipetik. Rasanya aku ingin segera melihat mimpi yang lain itu terwujud. Melihatmu bisa seperti ini sun

Jakarta Membunuh Mimpimu Sekali Lagi

Seorang dosen pernah berkata "pergi dan jalan-jalan yang jauh mumpung kalian masih kuliah" di depan kelas yang aku sudah lupa sedang pelajaran apa. Aku tentu mengangguk dan menyetujui apa yang dikatakannya. Akan tetapi, sedikit sinis karena bagaimanapun perjalanan selalu butuh biaya. Bagi anak kuliahan, itu tentu jadi masalah yang besar sekaligus klasik. Dosen itu kembali bercerita soal tiga hal yang sulit didapatkan secara bersamaan. Yakni, waktu, uang, dan tenaga. Waktu kuliah, kita masih punya waktu luang yang cukup dan tentu saja tenaga, tetapi minim uang. Saat sudah kerja, kita masih punya tenaga, punya uang bahkan, tetapi minim waktu. Sisanya adalah fase menuju tua dan giliran kita punya uang dan waktu, tetapi minim tenaga. Waktu sudah berjalan dua tahun sejak aku keluar dari kelas tersebut. Kini, prediksi dosen soal punya uang dan tenaga, tetapi tak punya waktu sedang aku alami. Bahkan, keadaan rasanya lebih mengerikan daripada itu.

Menemui Mimpimu di Jakarta

Di Jakarta, aku menemui mimpi-mimpimu. Empat tahun lalu, apa kau ingat? Kamu pernah memintaku untuk bekerja di kota ini. Biar lebih dekat, katamu. Kamu ingin aku jadi reporter, memakai baju pdh dengan logo media di saku kanan. Kemudian membawa mikrofon ke mana-mana. Akhir tahun lalu, mimpimu jadi nyata. Aku diterima kerja di kota metropolitan ini. Kita sudah dekat, sudah satu kota, tetapi tidak lagi satu hati. Kalau aku pake ojek online, mungkin cuma bayar Rp 10 ribu menuju kantormu. Tapi, harga kenangan tidaklah murah. Aku tak pernah berani lagi menghubungi, mengabarimu soal pekerjaanku, soal kita yang sudah dekat soal jarak, tapi jauh soal hati. Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan. Kamu tahu, setiap kali pulang liputan, setiap kali bertemu narasumber, aku sebenrnya ingin menelponmu. Mengabarimu kalau aku habis ketemu tokoh ini dan tokoh itu. Aku ingin mengabaimu kalau beritaku tidak naik, padahal aku sudah membuatnya susah payah. Aku ingin cerita banyak, tapi rasanya tidak

Bahaya yang Sembunyi

Aku menyukaimu Sejak perpustakaan itu kita sambangi Buku-buku yang lengket di genggaman saja Sementara percakapan adalah erat yang lain Dan kau menyukaiku Meski tak serius Kenangan membentukmu Dipikiranku Di laut, otak gelombang seperti gulungan Di sana, riak mengapa menyiprat ikan-ikan Di air, tenggelam adalah bahaya yang sembunyi Dan kenangan tak membentukku Dipikiranmu Dan itulah yang harus ku tahu

Mencium Aspal di Wlahar

Aku teringat lagi hari itu. Hari di mana aku merasa paling tidak berharga di mata orang lain, lebih jauh lagi, di mata kekasihku dulu. Aneh, harusnya keberadaanya membuatku berarti, tetapi ini malah sebaliknya. Pagi hari itu, kau dan aku, sudah merencanakan untuk pergi ke Purwokerto. Katamu, kau ingin membuat rekening bank baru. "Oke" kataku. Setelah beberes, aku menaiki sepeda motor, melaju ke rumahmu. Singkat cerita, kau telah selesai berdandan, aku telah selesai menunggumu dan ya sudah. Berangkat. Jalanan dari rumahmu sebenarnya sudah beberapa kali aku lewati, jalanan khas sebuah perbukitan yang naik turun cukup curam. Tetapi meski sudah biasa, yang namanya apes, ya tidak ada yang tau. Saat aku mulai menuruni jalan, motorku tergelincir. Sebenarnya, ini bukan turunan yang tajam, tetapi kau harus tau aspal di turunan ini sudah mulai mengelupas - hanya tersisa kerikil-kerikil kecil - kerikilnya itu yang membuat ban motor tergelincir. Ya sudah bisa di tebak, aku, kau, dan