merekam moment

Malam itu ratusan kembang api dinyalakan, sepasang kekasih bergandengan saling mendoakan dan aku berdiri di tengah - tengah lautan kerumunan, tahun baru seolah - seolah semua orang berharap dengan harapan baru, padahal bisa jadi kita masih melakukan hal yang sama, mencintaimu dengan caraku.

Aku berdiri didepan Sasana Krida, menatapku ke samping, meratapku tau kau tak ada disitu. Temanku menepuk pundaku “Ven gausah di rekam pake hp” katamu, lalu kau merebut hpku, memotret kembang api di langit itu, lalu menyimpan telephone genggamku. “ Tuhan menciptakan ingatan yang jauh lebih menyenangkan untuk kau ingat, di banding bila kau hanya membuat video di hp ven” lihat kembang api itu, di setiap ledakanya diatas langit yang kau kagumi itu, “ memangnya kenapa ?” kataku “ dia rela meledak tepat di depanmu, menyala bagai nyawa, lalu meredup dengan harapan kau tersenyum saat dia berlalu “ mungkin itu ven yang harus dilakukan saat melepas seseorang, tutuplah dengan senyum termanis dan ucaplah terimakasih atas semua bahagia lalu biarkan luka atau sisa - sisa penjelasan yang tak kunjung disampaikan yang akan membuat kita dewasa” Sudahlah, mungkin memang sudah habis waktumu, biarkan dia menemukan yang dia cari, kalau kata anak gunung itu, kau bukan puncak, tapi hanya pos, pos bayangan lagi, hehe... Mungkin memang saat ini kau harus menjauh, karna berteman dengan dalih kau ingin dia kembali padamu itu adalah harapan kosong, menunggu bak pemain cadangan atau jadi pelipur perih jika dia sedang bertengkar dengan kekasihnya, atau mungkin hanya jadi teman chat saat kekasihnya telah tertidur, ah kau tak usah melakukanya. Dan kau harus tau kalimat paling bullshit di dunia ini? “ semoga ini yang terbaik ya, kita masih bisa temenan kan ? “

Sore ini di sebuah toko buku, aku melangkah dengan kaki menderu, berharap mendengar lagu yang ingin kunyanyikan padamu waktu itu. Sore itu bung Fiersa membacakan beberapa bagian di buku keduanya “ Konspirasi Alam Semesta “ dan menyanyikan beberapa lagunya, sayang sekali bung, kau tak menyanyikan “Hingga Nafas Ini Habis”. Beberapa orang mengambil hpnya dan mulai merekam nyanyian itu, entahlah, aku lebih memilih ke kelompok manusia lain yang lebih menikmati acara itu dengan bernyanyi bersama atau mungkin tenggelam di perasaan masing - masing daripada merekamnya di hp. Pikiranku melayang ke malam tahun baru itu, kau benar ingatan kita jauh lebih canggih dari alat komunikasi itu, mungkin alat itu akan menangkap gambar, tapi ingatan kita akan menangkap moment, sebuah rasa, sebuah suasana yang hanya bisa kita rasakan satu kali, sampai kapanpun tidak bisa diulang!. barangkali aku dan kamu adalah moment itu, sebuah rasa, sebuah kedekatan yang jika kita (maaf), jika aku memaksa untuk merasakanya lagi itu adalah sia - sia.

Aku sadar, memperbaiki yang telah patah meski sembuh, ia tak akan kembali utuh. Sudahlah. Aku hanya ingin mengucap terimakasih mungkin jika aku tidak melepasmu dulu, aku tak akan menemui cinta yang kumiliki saat ini, cinta yang menerima kekurangan, dan mengubah caraku memandang dunia. Maaf kan aku yang pernah menunggumu tak kenal waktu. Pada akhirnya setiap orang memang harus berdamai dengan masa lalunya, lalu membuat cerita yang baru. Selamat menempuh perjalanan!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menemui Mimpimu di Jakarta

Angan-angan di Kota yang Jauh

Etika yang Luntur atau Dosen yang Baperan ?