Hai Perempuan Berambut Ikal

Dulu, saat pertama semesta mempertemukan kita, yang kemudian mempertemukan senyum sederhanamu ke sorot mataku. Kau mungkin tak sadar, ada laki - laki yang dengan betahnya melihat wajahmu, melihat lakumu dan cara bicaramu. Ospek hari pertama waktu itu, aku kira kau kakak tingkat ? ternyata bukan hehe

Aku melihatmu duduk paling belakang, ditemani kakak tingkat dan sama - sama memakai almamater. Ya pantas si aku mengira begitu, bukan karna wajahmu lebih tua juga hehehe. Rambut ikal yang selalu kau ikat, kadang masker menutupi mulutmu kadang aku bisa melihat lengkung senyumu. Nampaknya kau sedang sakit waktu itu.

Ternyata dugaanku benar, disaat kita akan ke lapangan, kau malah tak sempat menuruni tangga. Mungkin kau begitu tak kuat menopang tubuhmu? Ah coba saja kita kenal lebih dulu. Kau bisa naik ke punggungku, lingkarkan saja tanganmu dibawah leherku, biarkan kedua tanganku menopang kakimu. Kau bisa dengan tenang diatas punggungku.

Tapi memang dasar, aku tak cukup nyali untuk sekedar mengucap “hai” atau sekedar basa - basi “apa kamu masih kuat ?” maaf, maaf, maaf. Kesalahanku adalah tak menyapamu waktu itu. Mungkin jika kita kenal lebih dulu kita bisa lalui 3 semester ini sama sama.

Tapi mungkin memang seperti ini jalanya, Tuhan mempertemukan kita lagi. Aku masih ingat betul aku tak pernah mendoakanmu selepas sholat, bahkan menyebut namamu pun tidak. Tapi masih jelas di ingatanku, aku pernah berbisik dengan hatiku sendiri “kayaknya aku harus kenal kamu deh” dan kejadian kan sekarang. Entah kenapa aku lebih percaya doa yang diucap sekilas dikatakan, tak pernah meminta lagi, cukup satu kali, lalu biar Tuhan yang mengaturnya. Nyatanya aku pernah dengan sengaja selalu berdoa dengan terus menerus tapi tak selalu dikabulkan. Doa - doa yang sekilas justru lebih sering dikabulkan. Hmm mungkin karna lebih tulus tak memaksa Tuhan untuk segera dikabulkan.

Setidaknya saat dosen sedang bertingkah membosankan, aku masih bisa melihat rambut ikalmu dari belakang, melihat jepit rambutmu yang warna - warni itu atau setengah wajahmu saat kau menoleh ke samping.

Ya, aku tak mau terburu - buru, biar saja aku masih menjadi orang yang paling betah melihatmu tanpa sekalipun kau melihatku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menemui Mimpimu di Jakarta

Angan-angan di Kota yang Jauh

Etika yang Luntur atau Dosen yang Baperan ?