Sebatas Lensa Kamera


Abi baru saja keluar dari kelas, kini ia langkahkan kakinya menuju masjid kampus. Siang ini nampak seperti biasanya, panas menyengat membakar tubuh. Namun nampaknya hari ini terasa lebih panas. Abi melihat Novi dari kejauhan, wanita yang pernah ia usahakan bahagianya itu kini telah memilih orang lain, ia masih ingat betul kalimat terakhir yang Novi ucapkan di depan pintu kosan 3 tahun yang lalu. Waktu itu selepas menjalankan ritual malam minggu, tapi tak seperti malam - malam sebelumnya, mereka bertengkar, perang mulut tak bisa dihindari, berbagai argumen mereka benturkan. Sampai akhirnya cerita mereka terlengkapi di depan pintu gerbang kosan Novi. Rupanya malam itu menjadi malam terakhir motor bebeknya terparkir di depan pintu gerbang berwarna kuning itu.
“sudah ya, mungkin hubungan ini bisa buat kita belajar, menyatukan dua hati manusia itu gak gampang. Aku mau kita udahan aja. Maaf”
Bertahun kalimat itu tinggal di ingatan Abi, sudah ia coba melupakan, namun memutuskan untuk tak mengingat lagi memang pilihan yang sangat kejam. Otaknya menolak melakukanya. Ia percaya, melupakan adalah cara paling diktator dari manusia, bahwa bagaimanapun ia kini, dulu orang itulah yang selalu membuatnya semangat menjalani kehidupan.
Novi masuk ke dalam mobil, seorang laki laki berjaket kulit menutup pintunya, lalu berlarian kecil memutar menuju pintu mobil di sebelah kanan. Kini mobil merah itu telah melaju tak terlihat lagi. Abi hanya menunduk, menghela napasnya lalu melepas ikatan tali sepatunya. Kini ia pun beranjak masuk ke dalam masjid.
‘bii, abii” Ifa memanggil Abi yang sedang memyingsingkan celana panjangnya itu
“iya, kenapa fa”
“bareng ya, kamu jadi imam” ucapnya sambil tersenyum
“loh jadi imam mu ? emg keluargamu sudah setuju ?” balas abi
“ih apasih bi, imam sholat kok pake izin keluarga segala” jawab Ifa pura-pura saja ia tak tau, namun isi hatinya sekarang bak pelangi yang muncul selepas hujan. Menyenangkan sekali sepertinya
“iya, aku mau wudhu dulu ya”
**
Foodcourt kampus nampak lenggang, rintik hujan perlahan berhenti membasahi bumi. Selepas hujan adalah waktu yang paling disukai oleh Abi, dulu di waktu - waktu seperti inilah yang memaksa Abi dan Novi menepi lebih lama di Foudcourt ini. Tabik! Segala tentang kampus ini rupanya masih begitu membekas baginya. Ia sadar betul bahwa dirinya dilahirkan sebagai pengingat yang baik meski ia juga sering dilupakan dengan baik. Dua hal yang ia miliki secara bersamaan. Kini ia sedang menunggu seseorang, katanya ia akan dikenalkan dengan salah satu perempuan yang akan dijadikan sebagai aktris di film pendek yang akan ia buat bersama rekan sekuliahnya.
“hoii, Bi udah lama nunggu?”
“belum boii, baru ini”
“sorry ya lama, nunggu ujan reda tadi, oh ya ini Ajeng”
Mereka bersalaman lalu duduk berhadap - hadapan. Beberapa obrolan mengalir, sesekali Ajeng memperagakan beberapa adegan di skrip filmnya.
“oke, besok hari jum’at dan sabtu kamu ada acara ?
“gak ada mas” jawab Ajeng
“sipp, bagus.. nanti dikabarin lagi ya”
Zaenal dan Ajeng pergi. Tak lama berselang Zaenal mendapat pesan dari Abi. Bahwa Ajeng lah yang akan memeperankan tokohnya di Skripnya. Tepat di depan kosan Ajeng, Zaenal mengatakan kabar gembira itu, Ajeng pun menyetujuinya.
**

Lighting telah menyala dengan baik, kamera sudah tertata dengan posisinya masing - masing, kontrakan Zaenal telah di sulap menjadi tempat shooting yang begitu menarik. Abi kini berada di belakang kamera, ia memutar - mutar shutter speed, mengatur iso, dan mengatur titik fokus kameranya agar tertuju pada Ajeng. Ia bertugas menjadi kameramen 2, yang mengambil medium shoot dan detail ekspresi.
“Kamera Roll, Sound On, slace 3 take 1 action!!” teriak sutradara
Adegan pun berjalan dengan sebagaimana mestinya
“oke kita break dulu” kata Sutradara
Ajeng berjalan menuju tempat minum, lalu menghampiri Abi
“nih, minum bi” tangan ajeng menjulur ke arah Abi, sementara tangan satunya lagi memegang minumanya sendiri
“makasih ya, duh kamu itu kan talent, kok malah ngelayanin kru nya. Gak kebalik apa?!”
Senyum menyembul keluar dari pipi Ajeng. Abi memperhatikan betul detail senyumnya itu. Manis juga kalo diliat dari dekat, batinya.
Mereka pun mengobrol banyak hal selepas break. Canda tawa telah menghapus sepi yang Abi rasa. Meski tempat produksi begitu ramai, ia seringnya tetap merasa sepi. Namun wanita ini telah membuang rasa sepinya, ia punya cara berbeda memikat hatinya. Tiba tiba saja Ajeng mengambil sehelai tisu, lalu diusapkanya ke dahi Abi yang basah oleh keringat itu. Sekali lagi, Abi memandangi Ajeng dengan detail.
“Oke, kita lanjut shooting lagi!” kata sutradara
Abi dan Ajeng segera mempersiapkan diri. Kini kameranya kembali mencari titik fokus ke Ajeng dan sepertinya bukan hanya kameranya saja. Hati dan pikiranya kini juga seolah telah terfokus pada satu nama, Ajeng


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menemui Mimpimu di Jakarta

Angan-angan di Kota yang Jauh

Etika yang Luntur atau Dosen yang Baperan ?