Dear Udinus, Kenapa Kamu Melanggar Tradisi Keluargaku


Hari ini, 15 tahun yang lalu, sehabis sholat Ashar aku bergegas ganti pakaian. Aku memakai celana jens dan kemeja kotak-kotak warna biru. Aku setengah berlari mencari ibu sambil membawa sisir rambut, di umur 7 tahun disisiri oleh ibu membuat penampilanku tambah keren dibanding menyisir rambut sendiri. Paling nggak itu yang dikatakan ibu.
“Kadonya mana Ma?” tanyaku
“Di atas kulkas” jawab ibu
Aku mengambil kado yang sudah dibungkus ibu, kemudian pergi ke rumah temanku yang jaraknya 5 langkah dari rumahku sendiri. Temanku ini sedang ulang tahun. Perayaan tiap tahun yang hampir dilakukan oleh semua orang, tapi tidak di keluargaku.
Di sana seperti biasa, selayaknya anak kecil yang masih menganggap dunia adalah tempat bermain terluas, rumah temanku jadi ramai kayak kantin SD pas jam istirahat.
Setelah pembacaan selamat ulang tahun dan potong kue. Kami berebut untuk makan kue. Aku dapat satu potong, di atasnya masih ada lilin yang sudah mati. Aku menepi ke pojok ruangan, menutup mata, berdoa, dan meniup lilin yang memang sudah mati sebelum memakannya. Hari itu aku memakan kue ulang tahun, tapi kue ulang tahun teman. Hari itu, 15 tahun lalu aku ulang tahun juga, hanya saja tidak dirayakan. Aku justru pergi kerumah teman untuk merayakan sekaligus memakan kue ulang tahun. Hari ulang tahun kami sama, hanya beda cara merayakannya.
Sebagai anak kecil, yang nggak mau kalah dengan temannya. Aku udah sering nanya ke orang tua kenapa ulang tahunku nggak pernah dirayakan. Jawaban yang aku dapat selalu sama, mereka bilang ulang tahun itu terjadi setiap tahun, jadi nggak perlu dirayakan, yang dirayain itu harusnya hal spesial, yang jarang kejadian.
Sampai saat ini aku nggak tau kenapa orang tuaku bisa-bisanya nganggap hari ulang tahun itu nggak spesial. Padahal jutaan orang tua diluar sana menganggap hari ulang tahun adalah peristiwa penting. Sebenarnya bukan nggak pernah dirayakan banget si. Pernah, ya, pernah. Cuman kejadianya tuh nyebelin banget.
Ulang tahunku pernah dirayain, waktu aku kelas 3 SD. Waktu itu baru aja pindah rumah. Sebagai tetangga baru yang ingin terlihat baik, ibuku punya rencana bagi-bagi makanan ke tetangga sambil kenalan gitu, biar akrab, cuman ibu bingung alasan basa-basi apa yang mau dipake. Masa iya bilang “Cuman ingin bagi-bagi” tapi kok kesannya kami ini dermawan sekali.
Dan terjadilah, ulang tahunku dirayakan untuk jadi kedok kenalan dengan tetangga. Sungguh, sungguh menyebalkan. Sejak itu aku jadi membenci ulang tahun sekaligus mengamini ulang tahun nggak perlu dirayakan, nggak perlu di beri ucapan selamat. Pokoknya nggak perlu. Itu tradisi di keluarga kami, titik.
Sekarang, setelah bertahun-tahun kami menjaga tradisi tidak mengucapkan selamat ulang tahun, menjalani hari ulang tahun layaknya hari-hari biasa saja. Tiba-tiba kampus tempatku belajar berulah. Di website Udinus terpampang nyata namaku dan sebuah ucapan selamat ulang tahun. Hei, Udinus maksudmu apa!
Apa nggak cukup kemarin viral karena mahasiswamu sambat di turnamen game online kalo lahan parkir Udinus sempit. Apa nggak cukup, waktu Coki Muslim ngeroasting kalo Udinus main gamenya pake kursi mie ayam. Sekarang malah melanggar tradisi di keluargaku.
Okelah, ini cuman tradisi keluarga. tapi yang namanya tradisi, ya tetap tradisi dong. Harus dijaga, dilestarikan. Lagian apa sih faedahnya nampilin orang-orang yang lagi ulang tahun di website kampus. Aku loh nggak ngerasa spesial, malah langsung panik megang dompet. Bisa-bisa begitu sampe kampus ada orang-orang yang minta traktiran.
Rasanya aneh. Setelah bertahun-tahun nggak ada ucapan ulang tahun, sekarang yang ngucapin malah mesin algoritma di website kampus. Benda yang nggak hidup, tapi mengucapkan selamat ulang tahun ke manusia. Algoritma website kampus ini selalu nampilin nama-nama mahasiswa yang ulang tahun setiap harinya. Aku jadi penasaran, gimana rasanya ngucapin selamat ulang tahun setiap hari ke banyak orang, capek nggak? bosen nggak?
Tapi lebih jauh dari itu, begitulah yang terjadi sekarang ini dengan kita. Mungkin kita hampir sama, yang mengucapkan ulang tahun hampir tiap bulan, saat harus merayakan ulang tahun teman di lingkaran pertemanan kita. Adakah rasa capek? Bosen? Adakah makna di sana?
Ah, sudahlah. Karena sudah terlanjur tradisi keluargaku dilanggar. Sekalian aja nih, aku mau ngucapin selamat ulang tahun buat diriku sendiri. Semoga kamu makin bisa memaknai hidup dengan lebih baik. Punya kompas dan bisa gunain kompas biar tau hidupmu mau kemana, karena bisa jadi di jalan ada badai, hujan, atau apapun yang membuat kamu harus memilih berhenti atau berlanjut. Selamat ulang tahun, Venda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menemui Mimpimu di Jakarta

Angan-angan di Kota yang Jauh

Etika yang Luntur atau Dosen yang Baperan ?