Sehari Sebelum Lebaran


Sabtu pagi, sehari sebelum lebaran, tiga tahun lalu menjadi salah satu yang paling kuingat. Kau sedang dalam perjalanan pulang, ke rumah dan mungkin ke aku.
Motor menjadi pilihanmu, pelan-pelan ia mendekatkan kita. Dari yang tadinya ribuan kilometer, kini hanya menjadi beda desa. Selang beberapa waktu, kau mengabariku: aku sudah dirumah.
Kini, setelah ratusan hari sejak kau pergi, aku masih menulisnya-hal yang sempat kau tanyakan dan membuatmu marah-dulu kau bilang "kenapa kau tidak pernah menulisku?"
Sekarang, aku menulismu, dan kau tentu saja tak membacanya, dan bahkan muskil kau akan menanyakan "kenapa baru sekarang kau menulisku?" Untuk menyambung tanya yang dulu. Mustahil.
Temanku, Abi. Pernah bertanya "kau belum move on?" Dan aku tak menjawabnya, tak tau perasaan seperti apa yang membuatku seperti ini.
Satu waktu, aku pernah memikirkanmu, di hammock yang kupasang depan kontrakan lama. Waktu orang-orang sedang menjemput  bunga tidurnya, aku menjemputmu lewat lagu dan semua yang bisa membawamu kembali.
Kenapa waktu itu aku memilihmu? Atau mengapa kau tak jujur bahwa kau masih berada dalam bayang-bayang orang lain. Kenapa kita bisa bersama? Atau kenapa kau bisa kalah dan memilih bayang-bayang itu atau aku yang kalah dari sekadar bayang-bayang itu?
Satu waktu yang lain, aku mengutukmu. Pun diriku yang bodoh dan tak punya kuasa untuk mau menerima kesalahan dan kekalahan.
Sulit, sekali. Aku sering membandingkannya dengan pengorbanan lain. Misalnya waktu yang ku habiskan untuk merawat hati patah, aku merasakan sakitnya sendiri, menyembuhkannya lewat waktu yang menginjak-nginjak kenangan berulang kali. Empat tahun yang tidak singkat yang membuatku tak pernah mau menjalin hubungan: kupikir tidak adil ketika waktu itu ketika aku patah hati dan malah menjalin hubungan dengan orang lain.
Lalu setelah semua itu, aku menemukanmu, dan kau meninggalkanku, dan aku harus menerima kenyataan itu, dan kau sembuh dari bayang-bayangnya, dan aku masih memikirkan kenapa kenyataan membuatku bodoh.
Aku kalah dan aku harus mengakui, tetapi sulit. Dan aku kalah, kalah yang harus kuakui, tetapi sulit. Sementara kau kini berpendamping. Aku masih kalah, tetapi tak mau mengakui, tetapi pengorbananku besar sebelum bertemu denganmu, tetapi kenyataan tak pernah tau, ia hanya memikirkan dirinya sendiri dan kau yang hanya berpikir diri sendiri, atau aku yang hanya memikirkan diri sendiri, atau aku seharusnya ikut bahagia melihatmu bahagia juga saat ini?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menemui Mimpimu di Jakarta

Angan-angan di Kota yang Jauh

Etika yang Luntur atau Dosen yang Baperan ?