Mencium Aspal di Wlahar

Aku teringat lagi hari itu. Hari di mana aku merasa paling tidak berharga di mata orang lain, lebih jauh lagi, di mata kekasihku dulu. Aneh, harusnya keberadaanya membuatku berarti, tetapi ini malah sebaliknya.
Pagi hari itu, kau dan aku, sudah merencanakan untuk pergi ke Purwokerto. Katamu, kau ingin membuat rekening bank baru. "Oke" kataku.
Setelah beberes, aku menaiki sepeda motor, melaju ke rumahmu. Singkat cerita, kau telah selesai berdandan, aku telah selesai menunggumu dan ya sudah. Berangkat.
Jalanan dari rumahmu sebenarnya sudah beberapa kali aku lewati, jalanan khas sebuah perbukitan yang naik turun cukup curam.
Tetapi meski sudah biasa, yang namanya apes, ya tidak ada yang tau. Saat aku mulai menuruni jalan, motorku tergelincir. Sebenarnya, ini bukan turunan yang tajam, tetapi kau harus tau aspal di turunan ini sudah mulai mengelupas - hanya tersisa kerikil-kerikil kecil - kerikilnya itu yang membuat ban motor tergelincir. Ya sudah bisa di tebak, aku, kau, dan motor roboh. BRUKKKK!!
ku liat kau langsung berdiri, membersihkan tangan dari debu-debu. Aku bertanya kepada kau, apa kau baik-baik saja? "Iya" jawabmu. Sementara itu, kakiku terjepit motor, aku tak bisa menggerakan kaki kiriku.
Aku melihatmu sekali lagi. Kau masih setia sibuk dengan bersih-bersihmu. Kakiku masih saja tak bergerak, sungguh untuk bisa di posisi duduk agar aku bisa mengangkat motor saja tak bisa - benar-benar terjepit - aku berbasa-basi lagi ke kau, kau benar tak apa? Jawabmu masih sama.
Aku mulai kesal. Motor kutendang, kupikir posisi kaki bisa berubah, tapi tak juga, malah kakiku yang lecet. Aku melihatmu sekali lagi. Kau masih sibuk.
Aku menyerah. Aku meminta tolong kepada kau untuk membantu kakiku.
Kau menggeser sedikit motorku. Dan kakiku selamat.
Aku berdiri
Motorku ku pinggirkan sejenak.
Aku menanyaimu lagi.
Kau tak apa? Benar?
"Iya, gakpapa" katamu
Okelah, lalu, kita tetap ke purwokerto atau pulang saja?
"Lanjut aja, jangan pulang" jawabmu.
Kita kembali berboncengan. Tentu, kali ini aku lebih hati-hati berikut rasa cemas yang tak henti-henti.
Di atas sepeda motor. Kita lebih mirip ojek dan penumpang. Aku tak tau pasti, tapi setelah kejadian itu, tak ada obrolan apapun.
Di atas sepeda motor, di jalanan aspal menuju Purwokerto pikiranku sibuk merenungi kejadian tadi.
Bukankah aku tak salah? Okelah aku memang jatuh dan mungkij ceroboh. Tetapi bukankah aku tak sengaja? Tak menginginkannya juga? Kenapa pacarku tak mengajak ngobrol aku sekarang. Apa dia marah? Tapi marah kenapa kan aku tak sengaja.
Aku juga bingung. Sejak jatuh dari motor, tak sekalipun dia menanyai kabarku, apakah aku baik-baik saja? Apakah ada yang luka? Tak ada satu kalimatpun. Apa dia tidak sepeduli itu denganku?
Sampai sekarang pun. Pertanyaan itu tak terjawab. Itulah, saat di mana aku merasa jadi orang yang paling tidak berarti. Jatuh, luka, tak ada yang peduli, bahkan oleh kekasihku sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menemui Mimpimu di Jakarta

Angan-angan di Kota yang Jauh

Etika yang Luntur atau Dosen yang Baperan ?