Di Jakarta, aku menemui mimpi-mimpimu. Empat tahun lalu, apa kau ingat? Kamu pernah memintaku untuk bekerja di kota ini. Biar lebih dekat, katamu. Kamu ingin aku jadi reporter, memakai baju pdh dengan logo media di saku kanan. Kemudian membawa mikrofon ke mana-mana. Akhir tahun lalu, mimpimu jadi nyata. Aku diterima kerja di kota metropolitan ini. Kita sudah dekat, sudah satu kota, tetapi tidak lagi satu hati. Kalau aku pake ojek online, mungkin cuma bayar Rp 10 ribu menuju kantormu. Tapi, harga kenangan tidaklah murah. Aku tak pernah berani lagi menghubungi, mengabarimu soal pekerjaanku, soal kita yang sudah dekat soal jarak, tapi jauh soal hati. Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan. Kamu tahu, setiap kali pulang liputan, setiap kali bertemu narasumber, aku sebenrnya ingin menelponmu. Mengabarimu kalau aku habis ketemu tokoh ini dan tokoh itu. Aku ingin mengabaimu kalau beritaku tidak naik, padahal aku sudah membuatnya susah payah. Aku ingin cerita banyak, tapi rasanya tidak
Diantara 412 kilometer, tak adakah gedung-gedung tinggi yang menjulang? Atau gunung-gunung yang punya hutan paling sepi. Tak adakah diantara 412 kilometer itu penghalang dan peredam angan-angan? Sore, menjelang maghrib di Semarang. Mataku perlahan terbuka, badanku kepanasan. Kota ini masih terasa panas, meski sudah 3 tahun aku menumpang hidup. Bagaimana di situ? Dengan gemerlap angan-angan dan harapan untuk punya hidup yang lebih baik? Kota yang aneh, tidak pernah mengatakan apa-apa tetapi bisa membuat banyak orang berharap banyak. Bagaimana di situ? Ku dengar kau sudah tidak lagi takut dengan gelap, dengan jam dengan angka puluhan dan roda-roda besar yang bisa saja meninggalkanmu jika telat beberapa menit saja. Kau hebat, bisa bertahan di dunia seperti itu. Aku pernah loh, ingin ke sana, ingin mencicipi juga bagaimana perasaan punya angan-angan di kota penghasil angan-angan terbaik. Sayangnya di dua kali kesempatan yang ku punya, aku tak punya nyali. Gagal sudah mencoba hidu
Zaman telah berubah, teknologi semakin pesat berkembang, gaya berkomunikasipun kini berubah. Tak melulu dengan bertatap muka, kini mahasiswa bisa menghubungi dosen dengan handphone. ( foto : www.cerpen.co.id) Setelah melalui perkuliahan sekitar 3 semester ini, mulailah kita dihadapkan dengan berpuluh tugas yang menanti untuk diselesaikan. Belakangan ini teman - teman seangkatan saya mulai merasakan ribet ketika akan menemui dosen, entah itu untuk konsultasi paper , menumpuk tugas dll. Keberadaan dosen yang seringkali tidak bisa ditebak memaksa kita untuk berkirim pesan melalui SMS, Whatshap, atau Line. Kadang ada dosen yang dengan menyenangkanya membalas pesan yang kita kirim, lalu pertemuan untuk konsultasi bisa dilaksanakan, tapi tak jarang juga yang justru hanya dibaca tanpa balasan, esoknya dosen tersebut ngomel - ngomel “ Kalian itu udah mahasiswa, tau tata krama ga? Kirim pesan ke dosen itu ada aturanya!” gertaknya. Kirim SMS saja
Komentar
Posting Komentar